Dari Anas r.a, katanya: Nabi SAW menorehkan beberapa garis, lalu Baginda bersabda: Ini adalah angan-angan manusia sedang ini adalah ajalnya. Kemudian di waktu orang itu sedang dalam keadaan sedemikian yakni angan-angannya masih tetap panjang dan membumbung tinggi, tiba-tiba datanglah garis yang terpendek yakni garis yang memotongnya yaitu kematian. (HR Bukhari)

Searching...
04 Desember 2009

Cara Islam Memilih Pemimpin

12/04/2009

Pada masa kekhalifahan sahabat yang empat, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali (Khulafa ar-Rasyidin), istilah khalifah belum digunakan sebagai nama atau gelar yang menunjuk kepada suatu jabatan kepala pemerintahan. Ketika Abu Bakar as-Siddiq ditetapkan untuk menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin umat, ia diberi gelar Khalifah Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW). Sebutan ini merupakan gelar khusus baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas Nabi SAW memimpin masyarakat, dan bukan sebagai istilah yang menunjukkan pada jabatan.

Selanjutnya saat Umar bin Khattab ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar, Umar tidak bersedia menggunakan gelar khalifah. Dalam kehidupan sehari-hari ia lebih sering dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Lambat laun panggilan ini menjadi istilah kepemimpinan di kalangan umat Islam di beberapa negeri Islam. Khalifah atau Amirul Mukminin atau kepala negara adalah pelayan umat sehingga dia mempunyai kewajiban kepada mereka seperti kewajiban seorang hamba kepada majikannya.

Pelaksanaan Pemilihan
Kepemimpinan negara dalam sistem Islam dengan sebutan apapun terlaksana dengan adanya ikatan antara umat dan penguasa, dan yang mewakili umat adalah majlis Syura atau majlis umat. Ikatan ini disebut baiat. Umat diharuskan memberikan baiat bila melihat adanya kemaslahatan umum. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: ”Ketika kami membaiat Rasulullah SAW beliau bersabda kepada kami: ”Dalam hal-hal yang aku mampu.”

Begitu pula umat berkewajiban memberi baiat untuk satu atau dua masa kepemimpinan itu tidak untuk masa yang panjang atau seumur hidup. Tidak ada larangan bagi umat untuk memberi persyaratan kepada penguasa pembentukan kementerian bagi partai atau kelompok yang meraih suara pemilih terbanyak dalam pemilihan bebas yang diawasi oleh badan yudikatif secara langsung dan sepenuhnya. Dapat dikatakan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil bukan teokrasi.

Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena Rasulullah SAW memang tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.

Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan dengan pilihan khalifah.

Setelah wafat, posisi Umar digantikan Usman bin Affan. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah.

Satu hal yang paling penting, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam harus mengacu kepada Alquran dan sunnah Nabi SAW, sebagai undang undang tertulis. Tugas-tugas kepala negara sebagian besar terkait dengan masalah sipil. Untuk masalah yang tidak ditemukan hukumnya dari Allah atau tuntunan Nabi SAW, maka penguasa berhak mencari solusinya sesuai dengan kaidah-kaidah Syura dan kaidah-kaidah umum dalam Alquran dan Hadis. [dia/berbagai sumber]

Sistem Multi Partai
Gerakan Islam pada dasarnya tidak melarang sistem multi partai selama hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan menyeru kepada amar makruf nahi munkar. Sebab kesemuanya ini bagian dari kewajiban bagi setiap muslim, bukan hanya sekedar hak.Secara spesifik, Islam tidak mengenal istilah multipartai. Islam hanya menyebutkan sistem musyawarah (demokrasi) dalam menentukan pemimpin masa depan. Namun demikian, dalam masa pemerintahan Islam, sempat muncul istilah sistem multipartai.

Terdapat perbedaan antara sistem multi partai dan persaingan tidak sehat yang sering terjadi pada partai-partai pada umumnya. Begitu pula terdapat perbedaan antara demokrasi dan sistem syura yang benar dan penggunaan demokrasi atau syura yang hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan pemerintahan diktator yang mana partai hanya menjadi alat untuk melegitimasi tindakan yang merugikan masyarakat.

Ikhwanul Muslimin gerakan Islam terbesar di Mesir adalah sebuah organisasi pertama yang mengenalkan sistem multipartai ini secara konkrit. Awalnya, Ikhwanul Muslimin, menolak sistem partai tunggal dan mempercayai sistem multi partai dalam masyarakat Islam. Dalam pandangan organisasi ini, masing-masing kelompok harus diberi kebebasan untuk mengumumkan misinya dan menjelaskan garis-garis yang ditempuh selama syariah tetap menjadi konstitusi tertinggi, yaitu undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif yang bersifat otonomi yang dilindungi dan jauh dari kekuasaan atau pihak manapun.

Namun demikian, sistem multi partai ini tidak dengan sendirinya menjadi indikator bahwa penguasa mempunyai komitmen pada sistem musyawarah atau asas demokrasi.Sebenarnya, dunia Islam sudah mengenal sistem multi partai sejak zaman Khalifah Usman bin Affan. Sistem multi partai pada masa itu ditandai dengan muncul kelompok-kelompok oposisi terhadap penguasa. Oposisi terhadap pemerintahan Usman muncul setelah sepuluh tahun sejak ia menjadi khalifah dari warga Mesir dan Syam yang datang membanjiri Madinah dan melemparkan tuduhan-tuduhan.

Keberadaan kelompok oposisi ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tokoh oposisi yang paling menonjol pada masa itu adalah para sahabat kenamaan, seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah RA. Bahkan sekelompok sahabat tidak mau membaiat Ali.

Gerakan oposisi ini tidak melalui cara-cara damai dan cara dialog melainkan berkembang menjadi peperangan sengit seperti yang terjadi dalam perang Jamal (Unta) dan perang Shiffin yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali bin Abi Thalib beserta pendukungnya dari penduduk Hijaz dan Muawiyah bin Abu Sufyan yang didukung oleh penduduk Syam.

Tahkim tersebut berakhir antara dua juru runding yaitu al-Asy’ari dan Amru bin Ash dari pihak Muawiyah, dengan keputusan melepaskan kepemimpinan Khalifah Ali serta mengembalikan kepemimpinan kepada umat untuk memilih lagi seorang khalifah baru yang akan memutuskan pertikaian dan menyelesaikan permasalahan serta ditaati oleh semua pihak. Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan oposisi baru terhadap Ali dari kalangan pendukungnya sendiri. Mereka itulah kaum Khawarij yang dipandang oleh sebagian orang sebagai partai politik pertama dalam Islam.

Kemudian pada saat Thalhah, Zubair, dan Aisyah kembali memberikan dukungan mereka terhadap Ali, muncullah secara bertahap satu kelompok setelah itu di bawah nama Syiah. Kelompok ini mulai menampakkan bentuknya dengan warna yang paling dominan pada saat ini adalah sentimen kuat terhadap Ali dan ahlul Bait. Dalam perjalanannya kelompok Syiah ini berkembang menjadi satu ideologi bagi mereka yang diperjuangkan.

Keberadaan kelompok oposisi ini atau saat ini lebih dikenal dengan istilah partai terus berkembang pada masa sesudah al-Khulafa ar-Rasyidun. Beberapa diantaranya adalah kelompok ahlal-adl wa at-Tauhid pimpinan Washil bin Atha’ dan kelompok Mu’tazilah di masa kekuasaan Dinasti Umayyah. [sya/dia/berbagai sumber]

Hak Non Muslim
Allah SWT mengutus Rasul kepada seluruh umat manusia dengan aturan yang cocok bagi individu maupun masyarakat. Sebab Allah menciptakan manusia, yang Maha Mengetahui apa yang baik bagi diri manusia ini. Dalam hal ini Allah berfirman: ”Katakanlah; Berjalanlah di muka bumi lalu lihatlah bagaimana penciptaan (alam) ini berawal.” (Al-Ankabut:20).

Syariah Allah yang berhubungan dengan sanksi hukum terhadap kejahatan dan yang berhubungan dengan muamalat, diturunkan bukan saja untuk kaum muslimin, melainkan juga untuk non-muslim, meskipun tidak dibenarkan memaksa mereka menerima Islam sebagai agama dan akidah. Mereka diharuskan menerima Islam sebagai aturan kehidupan sipil. Sebab bagi non-muslim, Yahudi dan Nasrani, mereka tidak mempunyai ajaran agama tentang sanksi hukum Ilahiyah serta aturan muamalat. Di sana tidak didapatkan aturan tentang urusan duniawi.

Akan tetapi undang-undang Islam, meskipun memberikan kebebasan bagi non-muslim, di sana terdapat ikatan-ikatan dan aturan yang harus dipatuhi. Antara lain mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sanksi hudud dan qishash, ini dipandang sebagai aturan umum yang tidak dibedakan antara muslim dan non-muslim, serta antara wilayah satu dengan yang lainnya.

Kemudian mengenai sanksi ta’zir yaitu selain hukuman hudud dan qishash, Islam menyerahkan pada kondisi masa dan tempat. Dalam hal ini masing-masing daerah boleh menentukan sanksi hukuman yang sesuai.Aturan lainnya mengenai urusan muamalat, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Untuk urusan ini Islam memberikan keleluasaan kepada non-muslim. Dalam kondisi ini Islam tidak mengharuskan mereka melarang apa yang halal bagi agama mereka meskipun haram menurut Islam.

Kemudian mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan urusan pribadi, seperti pernikahan, talak, wasiat, warisan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini warga non-muslim tidak diharuskan mengikuti syariah Islam. Pemberlakuan syariah Islam bagi non-muslim dalam masalah hudud dan muamalat merupakan hal yang diakui oleh seluruh undang-undang dunia modern. Meskipun bagi minoritas non-muslim mempunyai hukum sendiri, kecuali dalam masalah-masalah yang terkait dengan hukum keluarga.

Thomas Arnold dalam bukunya Ad-Da’wah ila Al-Islam mengemukakan, bahwa tujuan dikenakan jizyah kepad kaum Nasrani bukanlah sebagai bentuk sanksi atas penolakan mereka untuk masuk Islam, melainkan mereka melaksanakan pembayaran jizyah ini bersama warga non-muslim di bawah pemerintahan Islam yang diberi kebebasan memeluk agama mereka tetapi tidak masuk dalam jajaran militer. Mereka membayar jizyah sebagai ganti jaminan perlindungan yang diberikan kaum muslimin.

Hak Politik Wanita
Perselisihan paham mengenai hak politik bagi wanita telah ada sejak lama. Terdapat anggapan bahwa hak politik berarti memberikan kewenangan membuat undang-undang kepada para wakil rakyat di parlemen. Padahal jika dicermati, nash-nash syariah, baik laki-laki maupun perempuan tidak dibenarkan membuat undang-undang kecuali dalam masalah-masalah yang tidak diatur oleh syariah.

Di kawasan negara-negara Arab terjadi perdebatan sengit mengenai hak wanita untuk ambil bagian dalam pergulatan politik yang diwakili dalam hak pemilihan dan hak duduk di parlemen. Sebagian aktifis wanita beranggapan bahwa hak untuk terlibat dalam politik adalah kunci yang akan dapat membukakan bagi kaum wanita semua kehormatan dan kemuliaan. Oleh sebab itu diadakan secara khusus berbagai konferensi dan pertemuan guna membicarakan masalah hak politik bagi kaum wanita.

Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat mengenai hak-hak politik bagi wanita. Perbedaan pendapat ini kembali pada konsep mereka masing-masing mengenai sifat pekerjaan ini. Satu pendapat mengatakan bahwa wanita tidak dibenarkan menduduki jabatan menteri. Sebab Imam atau khalifah harus meminta pendapat dari para menterinya pada saat-saat tertentu.

Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi Qadli (hakim) menurut syara. Sebab profesi ini menuntut kesempurnaan pendapat (olah pikir).Sementara di kalangan ulama modern ada yang berpandangan bahwa wanita mempunyai hak-hak politik sepenuhnya selain dari pimpinan negara. Pendapat ini dianut oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha, DR Yusuf al-Qaradlawi, Syekh Muhammad Shalthout, dan DR Muhammad Yusuf Musa.

Alasan lainnya, Islam tidak mencabut hak wanita dan tidak melarangnya mengutarakan aspirasi dan pendapatnya, melainkan memberinya kebebasan penuh seperti halnya kaum pria. Sementara kaidah fikih menegaskan bahwa pada dasarnya yang ada dalam adat istiadat itu boleh secara hukum selama tidak ada nash yang mengharamkan.(rpb)


2 komentar:

  1. makasih ya sobat infonya. update terus ya artikelnya disini

    BalasHapus
:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Klik untuk melihat kode!
Untuk insert emoticon anda harus menyisakan sediktnya satu spasi sebelum meletakkan kode.

RANDOM POSTS

  • Pengantar Zakat
    Betapa indahnya Islam memilih kalimat zakat untuk mengungkapkan hak harta yang wajib dibayarkan oleh orang yang kaya kepada orang yang miskin. Secara etimologi zakat berarti…
  • Jangan Memuji Secara Berlebihan
    Dari Abu Bakrah radhiallahu anhu dia berkata: Ada seseorang yang memuji temannya di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam maka beliau bersabda:وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ، قطعت عنق…
  • Komentar Pembaca
    Sebagian komentar pembaca yang   this.years = function(startYear) { var currentYear = new Date().getFullYear(), years = []; startYear =…
  • Kerasulan Nabi Muhammad Saw "Disahkan" Oleh Waraqah bin Naufal?
    SIAPAKAH WARAQAH BIN NAUFAL?Waraqah bin Naufal (Bahasa Arab ورقه بن نوفل) adalah sepupu Khadijah istri Muhammad, salah satu orang yang pertama kali mengakui Islam. Nama lengkapnya adalah…
  • Pengertian Mukjizat, Karamah, Ma’unah, dan Irhas
    I. MUKJIZATMukjizat berasal dari bahasa Arab معجزة dari kata al-i'jaz, yang berasal dari akar kata 'ajaza, artinya melemahkan. Mukjizat "ditunjukkan" oleh…
  • Al-Quran, Tentang 3 Rasul Dalam QS. Yaasin:14
    Sya’amil Al-Quranulkarim [with talking e-pen]Miracle: The Reference(Mudah, Sahih, Lengkap dan Komprehensif)Bandung: Sygma PublishingYayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsiran…

Harap kirimi saya artikel baru MADRASAH BANI SYAHAR AL MINHADI via email.

AL-QURAN


  • Al-Quran, Tentang Siapa Yang Menentukan Nama-Nama Surahnya
    Tanya: Siapa yang menentukan nama-nama surah di Al-Qur’an, juga juz-juz-nya dan juga kenapa ada ain-ain-nya di tiap juz ?Jawab: Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur’an. Sebagian mengatakan bahwa urutan itu berdasarkan wahyu…
  • Al-Quran, Tentang Kedudukan Akal dan Olah Fikir
    Materi 'Aql dalam Al-Qur'anMateri 'aql dalam Al-Qur'an terulang sebanyak 49 kali. Kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk fi'il mudhari', terutama materi yang bersambung dengan wawu jama'ah, seperti…
  • Al-Quran, Tentang Gunung Bergerak Bagai Awan
    Seorang debater kristen yang mengaku sarjana Teknik Sipil lulusan tahun 2003 mempertanyakan sisi sains ayat-ayat Al-Qur'an tentang gunung yang begerak bagai awan. Dalam sebuah ayat, Al-Qur'an memberitahukan bahwa gunung-gunung tidaklah…
  • Al-Quran, Tentang Mengapa Tuhan Menyesatkan Manusia
    Menjawab tuduhan Soal Allah Berkuasa Menyesatkan ManusiaSeperti KASET RUSAK, tidak habis-habisnya "tukang kopas" yang berlagak pintar menyoal perkara Allah menyesatkan manusia. Bagi mereka hal itu sepertinya tidak mungkin dilakukan oleh Tuhan, sebab…
  • Jawaban "Tafsir" Atas Hukum Rajam Dalam Islam
    Fenomena dagelan yang dipertontonkan kaum liberal didalam menggugat syariat Islam semakin menjadi-jadi. Selain melakukan banyak kebohongan didalam berbagai statement dan tulisan-tulisan mereka, tak segan-segan mereka banyak memelintir dan…
  • Al-Quran, Tentang 3 Rasul Dalam QS. Yaasin:14
    Sya’amil Al-Quranulkarim [with talking e-pen]Miracle: The Reference(Mudah, Sahih, Lengkap dan Komprehensif)Bandung: Sygma PublishingYayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsiran Al-Quran.REVISI TERJEMAH OLEH LAJNAH PENTASHIHAN MUSHAF AL-QUR'AN…