Mengapa Al-Qur’an Diturunkan Bertahap?
Al-Qur’an adalah petunjuk dan obat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menuntun manusia ke jalan Ilahi. Al-Qur’an juga merupakan jalan keluar bagi umat manusia dari penyakit sosial.
Di antara kajian-kajian ilmu Al-Qur’an modem, sering muncul pertanyaan klasik mengenai keberadaan Al-Qur’an. Mengapa Al- Quran diturunkan tidak sekaligus tetapi bertahap?
Pertanyaan itu dikatakan klasik karena jauh sebelum kajian ilmu Al-Qur’an modern berkembang, sudah sering dilontarkan. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan pertanyaan itu berkali-kali dilontarkan orang-orang yang disebut Al-Qur’an sebagai "Alladzina fi Qulubihim Maradhun" yaitu orang-orang yang hatinya "sakit".
Sangat beralasan jika Al-Qur’an menyebut mereka demikian. Sebab, dengan pendekatan"Mafhum Mukhalafah" atau pemahaman terbalik, misalnya Al-Qur’an diturunkan sekaligus, bisa saja mereka akan bertanya, "Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan secara bertahap atau terpisah-pisah?"
Dalam Al-Qur’an, terdapat kurang lebih 15 pertanyaan dalam bentuk kata "Yasaluunaka”(mereka bertanya kepadamu), yang dilontarkan orang-orang kafir dengan berbagai motif dan tujuan yang berbeda. Ada yang memang bertanya karena mereka tidak tahu, ada yang bertanya untuk menguji Rasulullah SAW. Selain itu ada juga yang bertanya untuk menjatuhkan Rasulullah di depan para sahabatnya.
Setiap ada pertanyaan dari orang-orang kafir, Allah SWT langsung menjawabnya pada ayat yang sama. Uniknya, pertanyaan-pertanyaan itu timbul tidak bersamaan waktunya. Bagaimana andaikata Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus?
Satu hal yang perlu ditegaskan, yang dimaksud dengan Al-Qur’an diturunkan secara bertahap adalah diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an secara berangsur-angsur per ayat atau persurat, sejak awal bi'tsah (pengangkatan Muhammad sebagai Nabi, ditandai dengan turunnya wahyu yang pertama) sampai Rasulullah SAW wafat selama kurun waktu 23 tahun.
Jibril kadang-kadang turun membawa satu ayat atau beberapa ayat dan terkadang pula membawa sebuah surat pendek ataupun surat yang panjang semisal Al An'am.
Di antara surat yang diturunkan secara sekaligus adalah Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, Al Lahab, Al Kautsar, Al Bayyinah, Al Mursalat, As Shaf dan Al An 'am.
Satu hal yang perlu diingat, tidak semua yang tidak benar selalu berefek negatif. Artinya, dengan menyikapinya secara bijak, pertanyaan klasik itu justru bisa menjadi dorongan agar di balik penurunan Al-Qur’an yang tidak sekaligus, bisa dipahami kembali.
QS. Al Furqan (25):32 menyebutkan, "Berkatalah orang-orang kafir: "Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?", sebagaimana Allah SWT menurunkan kitab-kitab terdahulu Taurat, Zabur dan Injil.
Kemudian Allah SWT menjawab, "...Demikianlah (kami turunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur), supaya kami perkuat hatimu (Muhammad) dengannya dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)."
Pada ayat lain, Allah SWT menjelaskan hikmah di balik penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur. QS.17 Al Isra: 105 yang artinya, “Dan kami turunkan Al-Qur'an dengan berangsur-angsur agar kamu membaca kannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian."
Bisa dibayangkan, alangkah nikmat dan segarnya jika dalam keadaan sangat haus, minum air seteguk demi 'seteguk untuk merasakan hilangnya dahaga secara perlahan-lahan.
Betapa nyamannya hati manusia, di saat kering-kerontang disiram dengan untaian ayat suci. Dan begitu seterusnya sehingga subur dan terawat. Sebagaimana bumi yang diguyur air hujan. Jika berlebihan yang terjadi adalah banjir.
Demikian juga Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur. Al-Qur’an bukan hanya merupakan sebuah bacaan yang selesai dibaca sesaat kemudian ditutup kembali. Al-Qur’an juga bukan sesuatu yang dihafal dalam satu atau dua hari selesai.
Hikmah yang lain di balik penurunan Al-Qur’an secara berangsur–angsur adalah agar mudah dihafal. Sejarah membuktikan, orang Arab saat itu mempunyai kelebihan pada hafalan mereka yang kuat. Rasulullah SAW tetap menganjurkan kepada para sahabatnya untuk menulis Al-Qur’an, meskipun beliau menyadari tidak banyak di antara para sahabatnya yang menguasai baca dan tulis.
Bisa dibayangkan, betapa sulit dan susahnya menghafal jika Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus. Bagi Allah semua itu bisa saja terjadi. Hal ini juga membuktikan bahwa Allah SWT Maha bijaksana dengan tidak membebani hambaNya diluar batas kemampuannya.
Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca dan dihafal, tetapi harus diamalkan. Tentu saja umat Islam saat itu akan banyak menemui kendala jika Al-Qur’an diturunkan sekaligus.
Karena mereka baru mengenal dan belajar tentang Islam. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Al-Qur’an memuat akidah dan syariah, yang seharusnya dikenalkan dan diajarkan secara bertahap.
Dalam hal syariat, salah satunya, Al-Qur’an melarang khamr atau minuman keras. Pada tahap awal, Allah SWT menjelaskan, bahwa di antara ciptaanNya yang baik dan halal dimakan, bisa dibuat dan dirubah menjadi sesuatu yang diharamkan. QS.16 Al Nahl : 67, artinya, "Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik..."
Tahap kedua, Allah SWT menjelaskan mafsadat dan mudharat khamr sekaligus menegaskan bahwa dampak negatif khamr lebih besar dari pada positifnya. QS.2 Al Baqarah: 219 artinya, "Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya...."
Selanjutnya, pada tahap ketiga, Allah SWT melarang meminum khamr, tetapi tidak secara sekaligus, namun bertahap. Yakni, bersifat temporer hanya saat menjalankan shalat saja.QS.4 An Nisa:: 43, artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....".
Selanjutnya, setelah secara fisik dan mental (akidah), umat Islam waktu itu telah siap, Allah SWT mengharamkan secara total minuman khamr. QS.5. Al Maidah: 90, artinya, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."
Jika ditilik dari adat kebiasaan bangsa Arab, termasuk umat Islam pada periode awal, di mana khamr ibarat minuman teh, kebiasaan itu sulit ditinggalkan. Semua itu menjadi bebas yang cukup berat untuk ditinggalkan.
Di dalam berdakwah pun harus dibedakan antara seseorang yang sejak lahir Islam karena pengikut jejak orang tuanya, dengan mualaf. Tentu tidak sulit bagi orang yang memeluk Islam sejak lahir untuk menjalani semua perbuatan yang disyariatkan Islam, karena ia memang dididik dalam lingkungan islam. Demikian sebaliknya bagi mualaf, semua harus dilakukan secara bertahap.
0 komentar:
Posting Komentar